Budaya dan sekolah kehidupan
Hal menarik lainnya menurut Petrus adalah sesi pentas budaya yang diadakan pada hari Kamis (13/2/2025). Pada pentas budaya ini, peserta yang berjumlah 114 anak terbagi ke dalam 7 kelompok yang mewakili 7 lingkungan.
“Kita gak sangka kostum mereka akan selengkap itu. Sehingga ketika acara pentas budaya di malam terakhir itu rasanya meriah sekali. Padahal mereka hanya latihan 3 kali saja,” ucap Petrus.
Ketika ditanya mengenai apa pentingnya program live in bagi anak remaja usia SMP, Petrus menjelaskan, program ini menjadi sekolah kehidupan yang riil bagi peserta didik. Kehidupan desa sangat berbeda dari kehidupan mereka di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Lebih lanjut ia menjelaskan, bagi mereka yang introvert, pertemuan dan hidup serumah dengan induk semang akan mendorong mereka untuk belajar ‘keluar’ dari diri mereka sendiri.
“Justru dengan situasi dan kondisi demikian, mereka dapat belajar banyak nilai kehidupan,” ujar Petrus.
Ia berharap, budaya Jawa yang hidup di masyarakat Gubug Selo dapat memengaruhi para peserta live in. Baginya, budaya Jawa memiliki nilai-nilai yang bisa digali.
“Salah satunya adalah unggah ungguh, tata krama, sopan santun yang justru jadi keprihatinan kita di kota besar, terutama bagi anak remaja,” ujar Petrus.
Hal ini sesuai dengan tema live in yang diusung panitia tahun ini, yaitu “Beriman, Berbudaya dan Peduli.”
Pengalaman nyata peserta didik hidup bersama induk semang menjadi proses belajar hidup yang mampu berdampak positif kepada mereka.
Tentang dampak positif ini, Petrus bercerita, salah satu orang tua murid sempat mengirim pesan di whatsapp paska program live in selesai. Pesan tertulisnya,”Semoga ini bertahan lama.” Tentu pesan ini disertai dengan sebuah foto yang menunjukkan anaknya sedang mencuci piring.