• PROFIL
    • Sejarah
    • Visi Misi & Motto
    • Logo Yayasan
    • Fasilitas
  • PERKENALAN UNIT
    • TK
    • SD
    • SMP
    • SMA
    • DAYCARE
    • KLINIK
  • BERITA DAN ARTIKEL
  • CONTACT US
  • PPDB
Menu
  • PROFIL
    • Sejarah
    • Visi Misi & Motto
    • Logo Yayasan
    • Fasilitas
  • PERKENALAN UNIT
    • TK
    • SD
    • SMP
    • SMA
    • DAYCARE
    • KLINIK
  • BERITA DAN ARTIKEL
  • CONTACT US
  • PPDB

Cabut Padi di Merapi, Cuci Piring di Kelapa Gading

  • May 21, 2025
  • Redaksi Yayasan ST. Yakobus

Foto : Peserta didik sedang mengupas singkong bersama keluarga dimana mereka tinggal.

Jarum jam masih menunjuk angka empat. Langit masih gelap gulita. Suasana pendopo Stasi Gubug Selo yang berada di lereng barat Gunung Merapi tampak beda dari biasanya.

Sorot cahaya dari lampu bus menangkap lapisan kabut. Udara dingin menyergap rombongan peserta live in dari kelas 8 SMP Santo Yakobus serta para guru pendamping yang turun dari bus. Perjalanan sekitar 8 jam dari Kelapa Gading, Jakarta Utara tak terasa melelahkan.

Kain bermotif kotak hitam dan putih melingkari tiang-tiang pendopo yang berdiri gagah. Kain putih menjuntai di setiap sisi langit-langit pendopo.

Panitia live in dan sejumlah warga Kampung Grogol, Dusun Mangunsoka, Kecamatan Dukuh, Kabupaten Magelang menyambut kedatangan mereka.

Seorang lelaki berkaos putih, bawahan kain batik, mengenakan blangkon dan kain kuning melingkar di lehernya bergerak layaknya tarian teatrikal. Iringan lagu gending Jawa terdengar lembut namun tegas. Gerakan sang penari mengikuti alunan lagu. Suasana terasa sangat magis, sakral.

Tak lama sesudah ia usai menari, seorang lelaki paruh baya berbusana warna hitam dan bawahan kain batik berdiri di depan pendopo. Sehelai kain putih menutupi lehernya. Sepasang lilin mengapit lelaki itu. Sebuah kendi berisi air berdiri di hadapannya. Sementara itu, tangannya menggenggam sebuah gayung yang terbuat dari batok kelapa dan kayu.

Foto : Para peserta didik membasahi dahi dengan air yang disiapkan oleh warga.

Satu persatu peserta live in maju ke hadapannya. Segayung air segar segera membasahi dahi mereka.

Ritual ini menjadi penanda diterimanya peserta live in di tengah masyarakat Selo Merapi. Pagi pertama di lereng Gunung Merapi diisi oleh sesi serah terima peserta kepada setiap pengurus lingkungan dan keluarga induk semang.

Menjelang matahari terbit, peserta live in menuju wilayah tempat tinggal keluarga induk semangnya mengenakan mobil colt. Bagian bak kendaraan ini telah mengalami modifikasi. Palang besi mengitari bagian bak mobil agar bisa menjadi pelindung bagi penumpang yang berdiri di sana.

Para peserta mengawali program live in ini dengan mengikuti kegiatan keluarga induk semang di rumahnya. Setiap keluarga induk semang hanya menampung 2 peserta live in. Mereka hidup bersama keluarga induk semang pada 9-14 Februari 2025.

Foto : Aktivitas harian menanam padi di sawah.

Salah cabut

“Yang menarik itu menanam padi,” ujar Petrus Sutrisno, Kepala Unit SMP St. Yakobus.

Aktivitas menanam padi belum pernah ada dalam live in tahun-tahun sebelumnya. Baru pada tahun ini, peserta live in dapat mengalami langsung aktivitas menanam padi di sawah.

“Jadi mereka tahu betul proses awalnya di sawah hingga nantinya jadi nasi,” kata Petrus.

Panjangnya proses menanam padi hingga akhirnya menjadi nasi hangat yang tersaji di meja makan merupakan salah satu kesadaran penting dalam hidup Gregorius Gregoryo Dwiputra, peserta live in kelas 8C. Cowok yang akrab dipanggil Ryo ini masih ingat betul, induk semangnya mengajaknya ke sawah pada hari pertama. Tak banyak hal yang ia lakukan di sana. Hanya menyabuti rumput liar. Namun, melalui aktivitas sederhana itu, ia paham perlunya ketelatenan dalam memelihara tanaman padi.

Hal senada juga disampaikan Stephanie Claressa Harjono, teman sekelas Ryo yang juga mengikuti induk semangnya ke sawah. Ia masih ingat, induk semangnya bercerita bahwa butuh waktu lama untuk panen padi.

“Nah dari cerita dan pengalaman sehari di sawah itu saya jadi tahu pentingnya telaten,” ungkap Stephanie.

Stephanie lanjut bercerita, teman serumahnya bersemangat mencabut rumput di sawah. Namun alih-alih membantu membersihkan tanaman padi dari rumput, yang terjadi justru …

“Yang dicabut malah tanaman padinya!” kata Stephanie.

Stephanie telah mengalami hidup di tempat yang sederhana. Fasilitas tidak sebagus dan selengkap di Jakarta. Hal ini menjadikan ia lebih bersyukur dan tidak gampang mengeluh dalam hidup.

Foto : Refleksi harian salah satu peserta didik.

Sedangkan bagi Richard Emmanuel Abeto, teman sekelas Stephanie, program live in adalah kesempatan ia belajar untuk selalu bersyukur. Ia juga belajar tentang disiplin dan tanggungjawab.

“Soalnya di sana kita sendiri, gak ada orang tua. Terus kita tinggal di sana cuma dengan orang tua asuh dan teman sekolah. Jadi ya kita harus makin bertanggungjawab untuk barang-barang atau tugas kita,” ujar Richard.

Pelajaran hidup yang didapat Eugenia Chiarra Hermanto berbeda dari ketiga temannya.

“Yang aku dapat dari live in itu tidak pilih-pilih makanan. Karena di sana itu saya lihat proses menghasilkan makanan itu. Atau kalaupun tidak menanam, tapi bekerja untuk bisa beli makanan itu juga gak gampang. Jadi saya lebih menghargai apapun yang ada di rumah,” kata Chiarra.

Foto : Foto bersama peserta didik setelah melaksanakan pentas budaya.

Budaya dan sekolah kehidupan

Hal menarik lainnya menurut Petrus adalah sesi pentas budaya yang diadakan pada hari Kamis (13/2/2025). Pada pentas budaya ini, peserta yang berjumlah 114 anak terbagi ke dalam 7 kelompok yang mewakili 7 lingkungan.

“Kita gak sangka kostum mereka akan selengkap itu. Sehingga ketika acara pentas budaya di malam terakhir itu rasanya meriah sekali. Padahal mereka hanya latihan 3 kali saja,” ucap Petrus.

Ketika ditanya mengenai apa pentingnya program live in bagi anak remaja usia SMP, Petrus menjelaskan, program ini menjadi sekolah kehidupan yang riil bagi peserta didik. Kehidupan desa sangat berbeda dari kehidupan mereka di Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Lebih lanjut ia menjelaskan, bagi mereka yang introvert, pertemuan dan hidup serumah dengan induk semang akan mendorong mereka untuk belajar ‘keluar’ dari diri mereka sendiri.

“Justru dengan situasi dan kondisi demikian, mereka dapat belajar banyak nilai kehidupan,” ujar Petrus.

Ia berharap, budaya Jawa yang hidup di masyarakat Gubug Selo dapat memengaruhi para peserta live in. Baginya, budaya Jawa memiliki nilai-nilai yang bisa digali.

“Salah satunya adalah unggah ungguh, tata krama, sopan santun yang justru jadi keprihatinan kita di kota besar, terutama bagi anak remaja,” ujar Petrus.  

Hal ini sesuai dengan tema live in yang diusung panitia tahun ini, yaitu “Beriman, Berbudaya dan Peduli.”

Pengalaman nyata peserta didik hidup bersama induk semang menjadi proses belajar hidup yang mampu berdampak positif kepada mereka.

Tentang dampak positif ini, Petrus bercerita, salah satu orang tua murid sempat mengirim pesan di whatsapp paska program live in selesai. Pesan tertulisnya,”Semoga ini bertahan lama.” Tentu pesan ini disertai dengan sebuah foto yang menunjukkan anaknya sedang mencuci piring.

Previous
Next
Tautan
  • Klinik Bina Kasih
  • Berita
  • Kalender Akademik
Instagram Youtube Whatsapp
Menu
  • PROFIL
    • Sejarah
    • Visi Misi & Motto
    • Logo Yayasan
    • Fasilitas
  • PERKENALAN UNIT
    • TK
    • SD
    • SMP
    • SMA
    • DAYCARE
    • KLINIK
  • BERITA DAN ARTIKEL
  • CONTACT US
  • PPDB
  • PROFIL
    • Sejarah
    • Visi Misi & Motto
    • Logo Yayasan
    • Fasilitas
  • PERKENALAN UNIT
    • TK
    • SD
    • SMP
    • SMA
    • DAYCARE
    • KLINIK
  • BERITA DAN ARTIKEL
  • CONTACT US
  • PPDB
Temukan Kami

Yayasan Santo Yakobus

  • Jl. Pegangsaan Dua KM 3,5 Kelapa Gading, Jakarta utara.
  • Senin - Jumat
  • 07.00 - 16.00

Copyright © 2024 Yayasan Santo yakobus. All Rights Reserved.